“...Orang yang tak punya keinginan, takkan bisa di kalahkan....”
Once Upon a Time in Poverty,
suatu ketika di tengah-tengah kemiskinan. Ini bukan cerita dalam film Populer
karya Columbia Pictures, Once Upon a Time
in Mexico (2003). Dalam film itu seorang el-Mariachi, diperankan Antonio
Banderes, musikus yang bersenjatakan magasin dan machine gun dalam gitar berhasil menggagalkan kudeta militer yang
di pimpin jenderal Marques atas suruhan pimpinan kartel narkoba Armando Barillo
untuk menggulingkan takhta presiden Meksiko. Ini juga bukan cerita dalam Once Upon a Time in China , sekuel di
mana Wong Fei Hong, di perankan Jet Li, berhasil mengusir penjajah dan segala
pengaruhnya hanya dengan merevitalisasi Kungfu dan tradisi Barongsai. Ini bukan
cerita tentang kehebatan orang-orang hebat seperti di film-film, ini cerita
tentang kemiskinan, kau tau kenapa? Karena engkau tidak sedang nonton film.
Sebenarnya aku sendiri pun sering
tersinggung setiap ada orang yang menyindir dan apalagi mengatakan aku miskin.
Entahlah, apakah “gampang tersinggung” memang menjadi watak dasariyah dan DNA
orang-orang miskin? Berikutnya, setahap demi setahap aku belajar untuk tidak
tersinggung dan takut dengan kemiskinan, tapi grogi masih ada, rasa canggung dan
tidak pede dengan kemiskinan masih terus menghijau dalam diriku. Setidaknya
itulah yang sekian puluh tahun aku alami.
Engkau pun tentunya sangat tahu,
menjadi miskin atau di miskinkan oleh sistem adalah situasi yang sangat tidak
menyenangkan hati. Miskin itu dari sudut pandang epistemologi manapun tidak
enak: tidak enak di rasa, dilihat, tapi mungkin sedikit enak diteori-bakukan
oleh para profesor, pakar dan pejabat nun jauh dari kemiskinan. Padahal engkau,
aku dan siapa pun saja sudah sama-sama tahu bahwa kemiskinan adalah suatu yang Down to earth alias membumi, merakyat,
mendarah dan mendaging pada wong cilik.
Aku sendiri pun tidak sedang menulis, membaca, mendengar dan apalagi
menteori-teorikan kemiskinan. Aku—mudah—mudahan engkau tidak—sedang mengalami
kemiskinan. Oleh sebab itu, jika suatu kesempatan engkau menemuiku dan
bertanya, “apa kabar Dul? Sedang apa kau?” dengan sangat enteng aku akan jawab,
“sedang miskin, Mat, kau mau juga?”
Kemiskinan ada sejak manusia ada,
bahkan bisa jadi lebih tua dari usia manusia. Aku adalah generasi yang (lebih
kurang) ke-78 dari nabi Adam As, mungkin kau juga tak jauh beda dengan aku. Itu
artinya sudah ribuan tahun lamanya kemiskinan mengakrabi hari-hari manusia,
dari masa ke masa. Akan tetapi sejauh ini aku masih enjoy dengan kemiskinan, relatif tak ada keluhan, keinginan bunuh
diri dan tindakan-tindakan amoral-asusila macam orang-orang kaya yang sering
muncul di media-media itu. Aku tidak sedang membela orang miskin dengan
menjelek-jelekan orang kaya, Tidak! Aku sedang ingin curhat dengan kau. Ya, kau yang sedang mengikuti cerita ini.
Begitulah negeri kita, sobat:
negeri kita selalu memerangi penggusuran dengan cara menggusur, memerangi
kebodohan dengan cara membodohi, mau maju dengan cara menjual diri, mengutuk
penguasa untuk ganti menguasai, miskin tapi sok kaya, pemerintah tak pernah
serius memerangi kemiskinan, bahkan yang terjadi selama ini bukan kemiskinan
yang di perangi, tapi orang-orang miskinlah yang di perangi. Kau merasa di
perangi, Sobat? Mudah-mudahan kau tidak termasuk salah seorang di antara mereka
yang setiap tahun antre menerima sedekah, berebut zakat sampai terinjak dan
menginjak saudara sendiri. Kau tentu ingat dengan Jhoni Malela, seorang
tunanetra asal Garut- Jawa Barat yang tewas karena terinjak-injak saat antre
bersalaman pada acara Halal Bihalal dengan presiden SBY. Kenapa bukan mister
presiden sendiri yang mendatangi rumah si buta itu dan memberikan santunan
untuk modal usaha? Padahal dulu khalifah Umar memanggul sendiri sekarung gandum
pada malam gulita untuk di berikan pada rakyatnya. Kau juga tahu bukan bahwa
uang subsidi dan bantuan pemerintah adalah hak rakyat, kenapa untuk mendapatkan
haknya sendiri rakyat harus antre? Padahal para menteri dan anggota dewan kalau
Gajian tak pernah antre dan
kepanasan.
***
Nah, suatu ketika di
tengah-tengah kemiskinan itu aku dipertemukan sang Takdir dengan seseorang
bernama Ridik. Sekilas namanya mirip dengan petinju yang pernah di-TKO Mike
Tyson di Las Vegas awal 90-an, Riddick Bow. Pak Ridik yang ini bukan petinju,
bahkan ia sangat tidak kenal dengan istilah-istilah dalam tinju, seperti: jap,
long hook, uppercut, KO, TKO dan apalagi TKI. Namun, aku lebih suka
memanggilnya “petinju”. Pak Ridik pun tak keberatan dipanggil petinju. Bahkan,
dengan cara itulah kami semakin akrab.
Pak Petinju sementara waktu
adalah pribadi unik yang banyak mengajarkan ilmu kehidupan, bukan hanya padaku,
tapi juga pada banyak orang miskin, konon, di seluruh sudut bumi. Itulah kenapa
lelaki itu sering dan selalu berpindah-pindah. Semula aku sedikit tidak
percaya, tentu saja karena penampilanya kurang meyakinkan. Maklum, aku
tergolong orang miskin yang memperhatikan penampilan. Tidak harus resmi, yang
penting rapi. Aku tahu kau akan mencibirku dengan kata-kata, “miskin saja kok resmi!”.
Tapi, aku akan segera menjawab cibiranmu dengan, “yang penting kan tidak bikin
repot pemerintah. Cukup Tuhan saja yang direpotkan.”
Nah, ketika aku sedang
memperhatikan penampilan pak Ridik dari atas ke bawah, sekilas seperti
pengemis, kumal dan kumuh macam cikorek (pemulung).
“Jangan lihat penampilanku, Dul.
Sekarang ini banyak orang berwajah malaikat, tapi hatinya Iblis. Apa yang tidak
bisa dipoles zaman sekarang? Kamu Dulamin, kan?”
“Kok tahu namaku?”
“Orang miskin di mana-mana paling
gampang dikenali”
“Dari manaa?”
“Tak usah jauh-jauh, Dul. Dari
baumu saja aku tahu. Bau macam ini, bau siapa lagi kalau bukan bau orang
miskin. Tak usah tersingung, nanti tambah miskin! Kasihan anak-isterimu kalau
miskin terus kan?”
Rupanya pak Ridik tahu kalau aku
tersinggung, namun ia segera menawariku rokok dan langsung duduk di sebelahku
melempar kail ke pinggir sungai. Jadilah sore itu pertemuanku dengan pak Ridik
sambil memancing. Ya, hampir setiap sore—jika tidak ada kesibukan ke sawah dan
langit cerah—aku menghabiskan waktu di pinggir sungai sampai tiba waktu senja,
lagi pula tidak mungkin rasanya menghabiskan waktu dengan main Golf seperti
para pejabat itu. Nanti malah masuk penjara gara-gara ada fair dengan caddie-nya.
Aku juga baru kenal istilah caddie
dari siaran berita di TV, terutama setelah seorang pejabat anti-korupsi
tersangkut masalah pembunuhan dan cinta segi-tiga dengan caddie golf.
“Mancing ini adalah smbol huruf
kedua dari kata “ilmu” dalam bahasa Arab. Kau tahu, Dul, apa maksudnya?”
Aku tersentak kaget dengan
kata-kata itu, bingung, tak mengerti. Mulailah aku terpukau pada pak Ridik.
“Penasaran, kan? Tak usah bingung
dengan kata-kata Arab, Dul. Aku tahu kamu bukan orang Arab, nabi Muhammad pun
sejatinya bukan orang Arab, hanya saja kebetulan lahir di sana. Toh, Arab juga
belum tentu islam, dan yang islam belum tentu islami moralnya. Orang-orang itu
salah kaprah, Dul. Kalau Cuma pakai jenggot, gamis, sorban dan jubah, Abu jahal
dan Fir’aun juga begitu”, pak Ridik bicara sambil melihat ke arahku. Ia tampak
serius menggerak-gerakkan tuas pancingnya.
“Ya, ya. Apa maksudnya, pak
Petinju? Apa maksud dari huruf kedua dari kata “ilmu” dalam bahasa Arab itu?”
“Kalau mau belajar harus dari
awal, dari huruf pertama, bukan dari huruf kedua. Tapi, esok saja aku kemari
lagi. Hari sudah petang, kau tak Shalat Maghrib?”
“Ya, pak Petinju. Tapi tunggu
sebentar!”, pintaku. Aku pun tambah penasaran
“Sudahlah, esok saja. Yang jelas,
hanya orang miskin yang pantas memberi pelatihan tentang kemiskinan, sekalipun
miski itu tak perlu di latih.”
Aku hanya tercenung berdiri,
hampir tak bernafas, tak berkedip, tanpa terasa pak Ridik sudah menghilang
dibalik semak dan rimbun pepohonan.
***
Aku penasaran, sangat penasaran
dengan kata-kata pak Ridik. Seingatku, belum pernah sepenasaran ini batinku.
Hampir sepanjang malam aku tak tidur memikirkan hal ini. Kau tahu kenapa?
Karena orang miskin jarang sekali penasaran. Kebanyakan orang miskin juga tahu
bahwa penasaran tidak bisa merubah kemiskinan, maka jarang-jarang saja lah
penasaran. Tapi mungkin pada episentrum “penasaran” inilah orang kaya dan
miskin memiliki kesamaan dan sekaligus perbedaan: orang miskin penasaran
menjadi kaya, sebaliknya orang kaya tidak penasaran menjadi miskin, orang kaya
hanya penasaran menjadi tambah kaya. Boleh jadi, karena alasan inilah Tuhan
mewajibkan zakat, agar kaya-miskin bisa bertemu. Nah, kau penasaran jadi
miskin? Ya, betul kau yang sedang membaca cerita ini.
Esoknya, aku lebih siang datang
ke sungai, tapi pak Ridik tak terlihat batang kakinya. Aku celingukan merentang
pandang ke sekeliling belukar dan hulu-hilir sungai, “sialan, Petinju semprul
itu berani menipu orang miskin!”, gumamku
Lelah menanti, aku pun mulai
melupakan pak Ridik, dengan lesu aku hendak melempar kail. Persis, ketika mau
memasang umpan, petinju, eh pak Ridik, merampas umpan cacingku dan berkata,
“kau tahu untuk mancing ikan apa umpanya, Dul?”
“Cacing”, ujarku kesal, “Sini
umpanku, Petinju. Aku mau mancing”
“Tenang dulu lah, satu pertanyaan
lagi, baru aku kasih”
“Apa, cepat katakan!”
“Untuk mancing tukang pancing apa
umpanya?”
“Hah?”, aku mendadak terdiam,
otakku berkerja, berputar, tapi tak ada stok jawaban di kepalaku. Aku pun
berkata sekenanya,” umpanya kentut!”
“Ngawur kau”
“Cepat kasih tahu, Petinju!”
“Bukan kentut, untuk mancing
tukang pancing umpanya adalah ikan. Di mana ada ikan, di situ tukang pancing
datang”
“Benar juga”, batinku, “maklum
lah pak, SD saja aku tak lulus”
“Kenapa tak lulus SD?”
“Karena aku tak pernah sekolah
SD”
“Tapi kan tak perlu sekolah untuk
sekedar mancing, kan? Hahaha” pak Ridik tertawa lepas, “Kecuali kau mau memancing
nasib di Jakarta, seperti para pejabat dan artis-artis itu”
“Lho, mereka tukang pancing juga,
Pak?” tanyaku
“Bisa jadi begitu”
Kami pun segera tertawa geli.
Sejurus kemudian, aku mulai melanjutkan pembicaraan kemarin, “Pak Petinju,
katakan apa maksud huruf kdua dari ilmu?”
“Huruf pertama dulu, Dul”
“Ya, huruf pertama”
Pak ridik memejamkan mata, lalu
menengadah ke arah tenggara, “ilmu dalam bahasa Arab terdiri dari tiga huruf:
‘ain, lam dan mim. Huruf pertama ‘ain, ya kan?”
“Hmm”
“Kamu pehatikan seperti apa huruf
‘ain? Huruf ini mlutnya mangap, menganga lebar dan perutnya besar. Ini simbol
orang miskin yang selalu lapar dan tak pernah kenyang. Nah oleh sebab itu,
orang miskin harus terus menganga, belajar dan mencari tahu bagaimana caranya
keluar dari kemiskinan. Ini ilmu namanya, kata orang pinter mitodologi”
“Huruf lam?”, tanyaku
“Lam itu seperti pancing, kita
penghobi mancing ini harus sabar mengunggu umpan dimakan ikan, itu juga
tergantung kondisi sungai, ada ikan tidak? Kalau buru-buru mana dapat ikan,
beli saja, masukin timba, pancing dari timba. Kalau masih tak sabar goreng saja
sama timbanya, hehehe”
“maksudnya apa petinju?”
“Duuul, Dul”, ujar pak Ridik
dengan memanjangkan bibirnya sambil geleng-geleng kepala, “maksudnya, orang
miskin macam kau ini harus sabar. Jangan ambil jalan pintas untuk jadi kaya”
“Jalan pintas, maksudnya ke
dukun? Pesugihan?”
“Bukan Cuma itu, itu cara kuno,
Dul. Cara modern adalah jadi pejabat yang korup, menelikung uang rakyat,
merekayasa dana ini-itu, kongkalikong sana-sini, main mata dengan si Anu dan
Polan, mengeruk kekayaan negara, menambang subsidi untuk rakyat, jadi makelar
dan calo pembangunan, jadi mafia hukum sambil jualan narkoba. Kalau pun
terpaksa masuk penjara masih bisa menjalankan bisnis dan judi”
“Ooo..”, aku manggut-manggut,
“Wah, aku bisa berbuat apa dengan sepetak sawah dan gagang pancing ini? Kapan
mau kaya? Sepertinya sulit bagiku untuk keluar dari lingkaran kemiskinan ini”
“Wallahu a’lam, hanya Tuhan yang
tahu”
“Nah, bagaimana dengan huruf
ketiga, Lam?”, tanyaku
“Itu dulu kau renungi, tak perlu
banyak belajar, yang penting di pakai. Makanya, jangan belajar sesuatu yang
tidak ada praktiknya di kehidupan nyata. Rugi!”
***
Malam harinya aku merenungi
kata-kata pak Ridik itu, “jangan belajar sesuatu yang tidak ada praktiknya di
kehidupan nyata”. Ku ulang-ulang kata itu dalam hati sampai benar-benar
mengerti apa maksudnya. Keesokan harinya, ketika kami sarapan singkong rebus
aku pun memanggil isteri dan anakku yang masih kelas dua SMP. Mereka terperangah
kaget mendengar kata-kata pak Ridik yang aku sampaikan.
“Betul yang dikatakan pak Ridik
itu. Kacung dan puluhan juta pelajar di negara kita terlalu banyak menerima
pelajaran yang tidak ada uji terpaknya dalam kehidupan nyata. Sebenarnya selama
ini sistem pendidikan di negara kita salah, Pak”, kata isteriku
“Salah?”, tanyaku heran, “kok,
ibu baru ngomong sekarang?”
“Bapak sering tidak nyambung
kalau diajak bicara, dari dulu juga ibu sering bilang ke bapak”
Aku hanya terdiam, aku tahu dan
sadar bahwa aku sering tidak nyambung alias goblok. Tapi setidaknya, aku tetap
berjuang agar anak-anakku tidak seperti aku.
“Cung, benar kamu diajari yang
salah-salah di sekolah?”, aku segera melayangkan pandang ke anakku setelah
nyeruput kopi.
“Tidak, Pak”, jawab Kacung
“Kalau begitu pasti ada yang
tidak beres, apa itu? Katakan cepat!”
“Sistem”
“Sistem itu siapa?”
“Apa, bukan siapa. Bapak ini
bagaimana sih sistem saja tidak tahu. Sistem itu kerangka, susunan.”
“Ooo”, aku mengangguk-anggukan
kepala sekalipun kurang begitu mengerti dengan penjelasan isteri dan anakku,
“sistemnya yang salah, bu?”
“Pembuat sistem, dalam hal ini
pemerintah!’
Kembali aku manggut-manggut.
Beruntung isteriku tamatan SMA, jadi tak sebodoh aku, “Cung, kamu pindah
sekolah saja, yang tidak pakai sistem, itu aman dari kesalahan-kesalahan”, aku
mencoba sok tahu dan memberi nasihat pada anakku.
“Mau pindah kemana, Pak? Semua
sekolah sama”, isteriku memotong
“Jadi, Sistem itu mengajar di
semua sekolah? Wah kalau begitu selama ini Kacung dibodohi oleh sistem itu ya,
Bu?”
“Bukan mengajar, Pak, Tapi
berlaku. Sistem itu berlaku dan diterapkan di seluruh sekolah di Indonesia.
Sudah sana, bapak berangkat ke sawah saja!, biar ketemu sistem di sawah”
Aku pun segera menghabiskan kopi
dan menghambur ke sawah. Ada banyak sekali gumpalan-gumpalan rasa heran, tak
mengerti, dan sekali lagi, penasaran. Kau tahu kenapa? Karena aku tak cukup
mengerti dengan sistem. “Susahnya jadi orang bodoh!”, batinku, tapi sudahlah,
untuk menghibur diri, aku sering bersiul di jalanan sambil meyakinkan diriku
sendiri bahwa di Indonesia ini bukan aku saja yang bodoh, dan dibodohi oleh
sistem. Mudah-mudahan kau tak dibodohi oleh sistem, biarlah aku saja.
***
“Nah, huruf yang ketiga dari kata
ilmu adalah Mim, seperti apa Mim itu, Dul?”, tanya pak Ridik sembari
menjulurkan pancing bambu ke tepi sungai.
“Seperti umpan ini, Pak”
“Ngawur kau! Kemarin ngawur,
sekarang ngawur lagi. Aku curiga kau jadi miskin gara-gara sering ngawur? sudah
berapa tahun kamu ngawur terus? Dul, kalau kemarin aku bilang Lam itu seperti
pancing, Mim belum tentu seperti umpan. Kamu goblok kok terus-terusan?”
“Ya ya, Pak. Seperti apa Mim itu,
timbul dari apa?”
“Bukan timbul, simbol!”
“Ya, simbol dari apa, Petinju?”
baru kali ini aku sadar bahwa benar-benar bodoh, sepertinya dari dulu
biasa-biasa saja, enak-enak saja. Anak-isteriku juga tidak keberatan aku
goblok. Aku pun mulai curiga, jangan-jangan kemiskinan dan kebodohan adalah
saudara kembar?
“Mim”, Pak Ridik melanjutkan
ceritanya, “itu seperti tali yang mengikat. Melingkar. Mim adalah simbol dari
ikatan. Maksudnya, ilmu atau strategi untuk keluar dari kemiskinan itu harus
diikat”
“Caranya?”
“Diikat dengan cara di
ingat-ingat, kalau perlu ditulis, didokumentasikan dan terus di Update sesuai
dengan kebutuhan terkini di kehidupan nyata”
“Diapdet itu diapakan,pak?diikat
pakai tali atau kawat?”
“Pakai apa sajalah terserah, yang
penting sewaktu-waktu kau perlu, kau bisa gunakan ilmu itu”
“wah, pak petinju hebat juga ya”,
ujarku sambil manggut-manggut. Aku merasa mendapat banyak pencerahan di pinggir
sungai sore itu.
“Bagaimana, Dul, kau siap hijrah,
dari kemiskinan?”
“Aku siap dari dulu, Pak, tapi
masalahnya aku sering lupa. Apa yang bapak ceritakan tadi pun aku sudah sedikit
lupa. Bahkan aku sering lupa kalau aku miskin”
“Tapi, kau tak pernah lupa makan,
bukan?”, sindir pak Ridik lalu tersenyum, “Dul, semua yang aku katakan, tolong
jangan kau ceritakan pada siapapun sebelum kau terapkan sendiri. Percayalah,
bahwa Tuhan akan berpihak pada kebaikan. Kebaikan orang-orang yang sedang asyik
memperbaiki diri, ingat itu!”
“Kenapa tak boleh cerita pada
orang lain? Bagaimana dengan anak-isteriku”
“itu kecuali, kau boleh ceritakan
perjumpaan kita ini setelah kau tidak miskin lagi. Tapi, sudahlah jangan banyak
tanya. Lakukan saja, apa yang kau bisa. Jangan ditunda-tunda. Menunda kebaikan
sama dengan menunda pertolongan Tuhan. Ingat, orang miskin macam kau ini adalah
orang istmewa. Kalau tidak, mana mungkin kata “miskin” diulang-ulang sebanyak
59 kali dalam Al-Qur’an. Nanti di akhirat pun hanya orang miskin yang bisa
menolong kita semua, Nabi Muhammad.”
***
Sepuluh tahun berlalu, setelah
usaha Kolam Pancingku besar, lengkap dengan rumah makan, SPBU dan bengkel,
bahkan menjadi satu wisata Kolam Pancing terbesar di Kabupaten Malang dengan
omset puluhan juta perhari: setelah Kacung anakku sukses menjadi dokter, aku
menceritakan kejadian sepuluh tahun silam itu pada beberapa tetangga di
kanan-kiri rumah, termasuk pada kiai Khori, guru spiritualku. Betapa kagetnya
aku ketika sang kiai mengatakan, “jangan-jangan, pak Ridik itu Nabi Khidir”
“Nabi Khidir? Siapa itu kiai?
Sepertinya aku pernah mendengar”, tanyaku
“Nabi Khidir adalah gurunya para
Nabi, khususnya Nabi Musa as, ia juga pembimbing spiritual para Wali, penganjur
kebaikan dan kesalehan pada orang-orang yang hatinya bersih. Beruntung kau
bertemu dia, Dul. Sekalipun Cuma perjumpaan rohani.”*(lihat
QS.Al-kahfi 65, kenapa perjumpaan rohani(metafisik) karena khidir As sudah
meninggal. Lihat QS Al-Anbiya’ :34)
“Bersyukurlah!”
“Alhamdulillah”, gumamku.
Seketika itu aku merasa ditampar dan di siram air, aku benar-benar kaget. Jadi,
orang tua yang dulu sering mancing bersamaku, yang kerap aku panggil petinju
adalah Nabi Khidir. Aku pun tiba-tiba mengingat jelas kata terakhir pak Ridik
di tepi sungai, bahkan kali ini seakan-akan ia hadir di hadapanku, “Jangan
seperti Musa, lakukan apa yang aku katakan! Sekalipun aku bukan Khidir dan kau
bukan Musa.”
Tak lama kemudian aku merasa
ruangan di sekelilingku gelap, aku tak ingat apa-apa lagi. Setelah terbangun dan
sadar, kulihat orang-orang berkerumun mengelilingiku di kamar.
***
*Tulisan ini diambil dari sebuah buku "PARA NABI DALAM BOTOL ANGGUR", Penulis bernama Ach Dhofir Zuhry, Ketua Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Al-Farabi Kepanjen Malang.
0 komentar:
Posting Komentar