Rabu, 22 Juni 2016

Once Upon a Time in Poverty - GUS ADZ

“...Orang yang tak punya keinginan, takkan bisa di kalahkan....”

Once Upon a Time in Poverty, suatu ketika di tengah-tengah kemiskinan. Ini bukan cerita dalam film Populer karya Columbia Pictures, Once Upon a Time in Mexico (2003). Dalam film itu seorang el-Mariachi, diperankan Antonio Banderes, musikus yang bersenjatakan magasin dan machine gun dalam gitar berhasil menggagalkan kudeta militer yang di pimpin jenderal Marques atas suruhan pimpinan kartel narkoba Armando Barillo untuk menggulingkan takhta presiden Meksiko. Ini juga bukan cerita dalam Once Upon a Time in China , sekuel di mana Wong Fei Hong, di perankan Jet Li, berhasil mengusir penjajah dan segala pengaruhnya hanya dengan merevitalisasi Kungfu dan tradisi Barongsai. Ini bukan cerita tentang kehebatan orang-orang hebat seperti di film-film, ini cerita tentang kemiskinan, kau tau kenapa? Karena engkau tidak sedang nonton film.
 
Sebenarnya aku sendiri pun sering tersinggung setiap ada orang yang menyindir dan apalagi mengatakan aku miskin. Entahlah, apakah “gampang tersinggung” memang menjadi watak dasariyah dan DNA orang-orang miskin? Berikutnya, setahap demi setahap aku belajar untuk tidak tersinggung dan takut dengan kemiskinan, tapi grogi masih ada, rasa canggung dan tidak pede dengan kemiskinan masih terus menghijau dalam diriku. Setidaknya itulah yang sekian puluh tahun aku alami.
 
Engkau pun tentunya sangat tahu, menjadi miskin atau di miskinkan oleh sistem adalah situasi yang sangat tidak menyenangkan hati. Miskin itu dari sudut pandang epistemologi manapun tidak enak: tidak enak di rasa, dilihat, tapi mungkin sedikit enak diteori-bakukan oleh para profesor, pakar dan pejabat nun jauh dari kemiskinan. Padahal engkau, aku dan siapa pun saja sudah sama-sama tahu bahwa kemiskinan adalah suatu yang Down to earth alias membumi, merakyat, mendarah dan mendaging pada wong cilik. Aku sendiri pun tidak sedang menulis, membaca, mendengar dan apalagi menteori-teorikan kemiskinan. Aku—mudah—mudahan engkau tidak—sedang mengalami kemiskinan. Oleh sebab itu, jika suatu kesempatan engkau menemuiku dan bertanya, “apa kabar Dul? Sedang apa kau?” dengan sangat enteng aku akan jawab, “sedang miskin, Mat, kau mau juga?”
 
Kemiskinan ada sejak manusia ada, bahkan bisa jadi lebih tua dari usia manusia. Aku adalah generasi yang (lebih kurang) ke-78 dari nabi Adam As, mungkin kau juga tak jauh beda dengan aku. Itu artinya sudah ribuan tahun lamanya kemiskinan mengakrabi hari-hari manusia, dari masa ke masa. Akan tetapi sejauh ini aku masih enjoy dengan kemiskinan, relatif tak ada keluhan, keinginan bunuh diri dan tindakan-tindakan amoral-asusila macam orang-orang kaya yang sering muncul di media-media itu. Aku tidak sedang membela orang miskin dengan menjelek-jelekan orang kaya, Tidak! Aku sedang ingin curhat dengan kau. Ya, kau yang sedang mengikuti cerita ini.
 
Begitulah negeri kita, sobat: negeri kita selalu memerangi penggusuran dengan cara menggusur, memerangi kebodohan dengan cara membodohi, mau maju dengan cara menjual diri, mengutuk penguasa untuk ganti menguasai, miskin tapi sok kaya, pemerintah tak pernah serius memerangi kemiskinan, bahkan yang terjadi selama ini bukan kemiskinan yang di perangi, tapi orang-orang miskinlah yang di perangi. Kau merasa di perangi, Sobat? Mudah-mudahan kau tidak termasuk salah seorang di antara mereka yang setiap tahun antre menerima sedekah, berebut zakat sampai terinjak dan menginjak saudara sendiri. Kau tentu ingat dengan Jhoni Malela, seorang tunanetra asal Garut- Jawa Barat yang tewas karena terinjak-injak saat antre bersalaman pada acara Halal Bihalal dengan presiden SBY. Kenapa bukan mister presiden sendiri yang mendatangi rumah si buta itu dan memberikan santunan untuk modal usaha? Padahal dulu khalifah Umar memanggul sendiri sekarung gandum pada malam gulita untuk di berikan pada rakyatnya. Kau juga tahu bukan bahwa uang subsidi dan bantuan pemerintah adalah hak rakyat, kenapa untuk mendapatkan haknya sendiri rakyat harus antre? Padahal para menteri dan anggota dewan kalau Gajian tak pernah antre dan kepanasan.
***

Nah, suatu ketika di tengah-tengah kemiskinan itu aku dipertemukan sang Takdir dengan seseorang bernama Ridik. Sekilas namanya mirip dengan petinju yang pernah di-TKO Mike Tyson di Las Vegas awal 90-an, Riddick Bow. Pak Ridik yang ini bukan petinju, bahkan ia sangat tidak kenal dengan istilah-istilah dalam tinju, seperti: jap, long hook, uppercut, KO, TKO dan apalagi TKI. Namun, aku lebih suka memanggilnya “petinju”. Pak Ridik pun tak keberatan dipanggil petinju. Bahkan, dengan cara itulah kami semakin akrab.
 
Pak Petinju sementara waktu adalah pribadi unik yang banyak mengajarkan ilmu kehidupan, bukan hanya padaku, tapi juga pada banyak orang miskin, konon, di seluruh sudut bumi. Itulah kenapa lelaki itu sering dan selalu berpindah-pindah. Semula aku sedikit tidak percaya, tentu saja karena penampilanya kurang meyakinkan. Maklum, aku tergolong orang miskin yang memperhatikan penampilan. Tidak harus resmi, yang penting rapi. Aku tahu kau akan mencibirku dengan kata-kata, “miskin saja kok resmi!”. Tapi, aku akan segera menjawab cibiranmu dengan, “yang penting kan tidak bikin repot pemerintah. Cukup Tuhan saja yang direpotkan.”
  Nah, ketika aku sedang memperhatikan penampilan pak Ridik dari atas ke bawah, sekilas seperti pengemis, kumal dan kumuh macam cikorek (pemulung).
“Jangan lihat penampilanku, Dul. Sekarang ini banyak orang berwajah malaikat, tapi hatinya Iblis. Apa yang tidak bisa dipoles zaman sekarang? Kamu Dulamin, kan?”
“Kok tahu namaku?”
“Orang miskin di mana-mana paling gampang dikenali”
“Dari manaa?”
“Tak usah jauh-jauh, Dul. Dari baumu saja aku tahu. Bau macam ini, bau siapa lagi kalau bukan bau orang miskin. Tak usah tersingung, nanti tambah miskin! Kasihan anak-isterimu kalau miskin terus kan?”
Rupanya pak Ridik tahu kalau aku tersinggung, namun ia segera menawariku rokok dan langsung duduk di sebelahku melempar kail ke pinggir sungai. Jadilah sore itu pertemuanku dengan pak Ridik sambil memancing. Ya, hampir setiap sore—jika tidak ada kesibukan ke sawah dan langit cerah—aku menghabiskan waktu di pinggir sungai sampai tiba waktu senja, lagi pula tidak mungkin rasanya menghabiskan waktu dengan main Golf seperti para pejabat itu. Nanti malah masuk penjara gara-gara ada fair dengan caddie-nya. Aku juga baru kenal istilah caddie dari siaran berita di TV, terutama setelah seorang pejabat anti-korupsi tersangkut masalah pembunuhan dan cinta segi-tiga dengan caddie golf.
“Mancing ini adalah smbol huruf kedua dari kata “ilmu” dalam bahasa Arab. Kau tahu, Dul, apa maksudnya?”
Aku tersentak kaget dengan kata-kata itu, bingung, tak mengerti. Mulailah aku terpukau pada pak Ridik.
“Penasaran, kan? Tak usah bingung dengan kata-kata Arab, Dul. Aku tahu kamu bukan orang Arab, nabi Muhammad pun sejatinya bukan orang Arab, hanya saja kebetulan lahir di sana. Toh, Arab juga belum tentu islam, dan yang islam belum tentu islami moralnya. Orang-orang itu salah kaprah, Dul. Kalau Cuma pakai jenggot, gamis, sorban dan jubah, Abu jahal dan Fir’aun juga begitu”, pak Ridik bicara sambil melihat ke arahku. Ia tampak serius menggerak-gerakkan tuas pancingnya.
“Ya, ya. Apa maksudnya, pak Petinju? Apa maksud dari huruf kedua dari kata “ilmu” dalam bahasa Arab itu?”
“Kalau mau belajar harus dari awal, dari huruf pertama, bukan dari huruf kedua. Tapi, esok saja aku kemari lagi. Hari sudah petang, kau tak Shalat Maghrib?”
“Ya, pak Petinju. Tapi tunggu sebentar!”, pintaku. Aku pun tambah penasaran
“Sudahlah, esok saja. Yang jelas, hanya orang miskin yang pantas memberi pelatihan tentang kemiskinan, sekalipun miski itu tak perlu di latih.”
Aku hanya tercenung berdiri, hampir tak bernafas, tak berkedip, tanpa terasa pak Ridik sudah menghilang dibalik semak dan rimbun pepohonan.

***
Aku penasaran, sangat penasaran dengan kata-kata pak Ridik. Seingatku, belum pernah sepenasaran ini batinku. Hampir sepanjang malam aku tak tidur memikirkan hal ini. Kau tahu kenapa? Karena orang miskin jarang sekali penasaran. Kebanyakan orang miskin juga tahu bahwa penasaran tidak bisa merubah kemiskinan, maka jarang-jarang saja lah penasaran. Tapi mungkin pada episentrum “penasaran” inilah orang kaya dan miskin memiliki kesamaan dan sekaligus perbedaan: orang miskin penasaran menjadi kaya, sebaliknya orang kaya tidak penasaran menjadi miskin, orang kaya hanya penasaran menjadi tambah kaya. Boleh jadi, karena alasan inilah Tuhan mewajibkan zakat, agar kaya-miskin bisa bertemu. Nah, kau penasaran jadi miskin? Ya, betul kau yang sedang membaca cerita ini.
Esoknya, aku lebih siang datang ke sungai, tapi pak Ridik tak terlihat batang kakinya. Aku celingukan merentang pandang ke sekeliling belukar dan hulu-hilir sungai, “sialan, Petinju semprul itu berani menipu orang miskin!”, gumamku
Lelah menanti, aku pun mulai melupakan pak Ridik, dengan lesu aku hendak melempar kail. Persis, ketika mau memasang umpan, petinju, eh pak Ridik, merampas umpan cacingku dan berkata, “kau tahu untuk mancing ikan apa umpanya, Dul?”
“Cacing”, ujarku kesal, “Sini umpanku, Petinju. Aku mau mancing”
“Tenang dulu lah, satu pertanyaan lagi, baru aku kasih”
“Apa, cepat katakan!”
“Untuk mancing tukang pancing apa umpanya?”
“Hah?”, aku mendadak terdiam, otakku berkerja, berputar, tapi tak ada stok jawaban di kepalaku. Aku pun berkata sekenanya,” umpanya kentut!”
“Ngawur kau”
“Cepat kasih tahu, Petinju!”
“Bukan kentut, untuk mancing tukang pancing umpanya adalah ikan. Di mana ada ikan, di situ tukang pancing datang”
“Benar juga”, batinku, “maklum lah pak, SD saja aku tak lulus”
“Kenapa tak lulus SD?”
“Karena aku tak pernah sekolah SD”
“Tapi kan tak perlu sekolah untuk sekedar mancing, kan? Hahaha” pak Ridik tertawa lepas, “Kecuali kau mau memancing nasib di Jakarta, seperti para pejabat dan artis-artis itu”
“Lho, mereka tukang pancing juga, Pak?” tanyaku
“Bisa jadi begitu”
Kami pun segera tertawa geli. Sejurus kemudian, aku mulai melanjutkan pembicaraan kemarin, “Pak Petinju, katakan apa maksud huruf kdua dari ilmu?”
“Huruf pertama dulu, Dul”
“Ya, huruf pertama”
Pak ridik memejamkan mata, lalu menengadah ke arah tenggara, “ilmu dalam bahasa Arab terdiri dari tiga huruf: ‘ain, lam dan mim. Huruf pertama ‘ain, ya kan?”
“Hmm”
“Kamu pehatikan seperti apa huruf ‘ain? Huruf ini mlutnya mangap, menganga lebar dan perutnya besar. Ini simbol orang miskin yang selalu lapar dan tak pernah kenyang. Nah oleh sebab itu, orang miskin harus terus menganga, belajar dan mencari tahu bagaimana caranya keluar dari kemiskinan. Ini ilmu namanya, kata orang pinter mitodologi”
“Huruf lam?”, tanyaku
“Lam itu seperti pancing, kita penghobi mancing ini harus sabar mengunggu umpan dimakan ikan, itu juga tergantung kondisi sungai, ada ikan tidak? Kalau buru-buru mana dapat ikan, beli saja, masukin timba, pancing dari timba. Kalau masih tak sabar goreng saja sama timbanya, hehehe”
“maksudnya apa petinju?”
“Duuul, Dul”, ujar pak Ridik dengan memanjangkan bibirnya sambil geleng-geleng kepala, “maksudnya, orang miskin macam kau ini harus sabar. Jangan ambil jalan pintas untuk jadi kaya”
“Jalan pintas, maksudnya ke dukun? Pesugihan?”
“Bukan Cuma itu, itu cara kuno, Dul. Cara modern adalah jadi pejabat yang korup, menelikung uang rakyat, merekayasa dana ini-itu, kongkalikong sana-sini, main mata dengan si Anu dan Polan, mengeruk kekayaan negara, menambang subsidi untuk rakyat, jadi makelar dan calo pembangunan, jadi mafia hukum sambil jualan narkoba. Kalau pun terpaksa masuk penjara masih bisa menjalankan bisnis dan judi”
“Ooo..”, aku manggut-manggut, “Wah, aku bisa berbuat apa dengan sepetak sawah dan gagang pancing ini? Kapan mau kaya? Sepertinya sulit bagiku untuk keluar dari lingkaran kemiskinan ini”
“Wallahu a’lam, hanya Tuhan yang tahu”
“Nah, bagaimana dengan huruf ketiga, Lam?”, tanyaku
“Itu dulu kau renungi, tak perlu banyak belajar, yang penting di pakai. Makanya, jangan belajar sesuatu yang tidak ada praktiknya di kehidupan nyata. Rugi!”
***
Malam harinya aku merenungi kata-kata pak Ridik itu, “jangan belajar sesuatu yang tidak ada praktiknya di kehidupan nyata”. Ku ulang-ulang kata itu dalam hati sampai benar-benar mengerti apa maksudnya. Keesokan harinya, ketika kami sarapan singkong rebus aku pun memanggil isteri dan anakku yang masih kelas dua SMP. Mereka terperangah kaget mendengar kata-kata pak Ridik yang aku sampaikan.
“Betul yang dikatakan pak Ridik itu. Kacung dan puluhan juta pelajar di negara kita terlalu banyak menerima pelajaran yang tidak ada uji terpaknya dalam kehidupan nyata. Sebenarnya selama ini sistem pendidikan di negara kita salah, Pak”, kata isteriku
“Salah?”, tanyaku heran, “kok, ibu baru ngomong sekarang?”
“Bapak sering tidak nyambung kalau diajak bicara, dari dulu juga ibu sering bilang ke bapak”
Aku hanya terdiam, aku tahu dan sadar bahwa aku sering tidak nyambung alias goblok. Tapi setidaknya, aku tetap berjuang agar anak-anakku tidak seperti aku.
“Cung, benar kamu diajari yang salah-salah di sekolah?”, aku segera melayangkan pandang ke anakku setelah nyeruput kopi.
“Tidak, Pak”, jawab Kacung
“Kalau begitu pasti ada yang tidak beres, apa itu? Katakan cepat!”
“Sistem”
“Sistem itu siapa?”
“Apa, bukan siapa. Bapak ini bagaimana sih sistem saja tidak tahu. Sistem itu kerangka, susunan.”
“Ooo”, aku mengangguk-anggukan kepala sekalipun kurang begitu mengerti dengan penjelasan isteri dan anakku, “sistemnya yang salah, bu?”
“Pembuat sistem, dalam hal ini pemerintah!’
Kembali aku manggut-manggut. Beruntung isteriku tamatan SMA, jadi tak sebodoh aku, “Cung, kamu pindah sekolah saja, yang tidak pakai sistem, itu aman dari kesalahan-kesalahan”, aku mencoba sok tahu dan memberi nasihat pada anakku.
“Mau pindah kemana, Pak? Semua sekolah sama”, isteriku memotong
“Jadi, Sistem itu mengajar di semua sekolah? Wah kalau begitu selama ini Kacung dibodohi oleh sistem itu ya, Bu?”
“Bukan mengajar, Pak, Tapi berlaku. Sistem itu berlaku dan diterapkan di seluruh sekolah di Indonesia. Sudah sana, bapak berangkat ke sawah saja!, biar ketemu sistem di sawah”
Aku pun segera menghabiskan kopi dan menghambur ke sawah. Ada banyak sekali gumpalan-gumpalan rasa heran, tak mengerti, dan sekali lagi, penasaran. Kau tahu kenapa? Karena aku tak cukup mengerti dengan sistem. “Susahnya jadi orang bodoh!”, batinku, tapi sudahlah, untuk menghibur diri, aku sering bersiul di jalanan sambil meyakinkan diriku sendiri bahwa di Indonesia ini bukan aku saja yang bodoh, dan dibodohi oleh sistem. Mudah-mudahan kau tak dibodohi oleh sistem, biarlah aku saja.
***
“Nah, huruf yang ketiga dari kata ilmu adalah Mim, seperti apa Mim itu, Dul?”, tanya pak Ridik sembari menjulurkan pancing bambu ke tepi sungai.
“Seperti umpan ini, Pak”
“Ngawur kau! Kemarin ngawur, sekarang ngawur lagi. Aku curiga kau jadi miskin gara-gara sering ngawur? sudah berapa tahun kamu ngawur terus? Dul, kalau kemarin aku bilang Lam itu seperti pancing, Mim belum tentu seperti umpan. Kamu goblok kok terus-terusan?”
“Ya ya, Pak. Seperti apa Mim itu, timbul dari apa?”
“Bukan timbul, simbol!”
“Ya, simbol dari apa, Petinju?” baru kali ini aku sadar bahwa benar-benar bodoh, sepertinya dari dulu biasa-biasa saja, enak-enak saja. Anak-isteriku juga tidak keberatan aku goblok. Aku pun mulai curiga, jangan-jangan kemiskinan dan kebodohan adalah saudara kembar?
“Mim”, Pak Ridik melanjutkan ceritanya, “itu seperti tali yang mengikat. Melingkar. Mim adalah simbol dari ikatan. Maksudnya, ilmu atau strategi untuk keluar dari kemiskinan itu harus diikat”
“Caranya?”
“Diikat dengan cara di ingat-ingat, kalau perlu ditulis, didokumentasikan dan terus di Update sesuai dengan kebutuhan terkini di kehidupan nyata”
“Diapdet itu diapakan,pak?diikat pakai tali atau kawat?”
“Pakai apa sajalah terserah, yang penting sewaktu-waktu kau perlu, kau bisa gunakan ilmu itu”
“wah, pak petinju hebat juga ya”, ujarku sambil manggut-manggut. Aku merasa mendapat banyak pencerahan di pinggir sungai sore itu.
“Bagaimana, Dul, kau siap hijrah, dari kemiskinan?”
“Aku siap dari dulu, Pak, tapi masalahnya aku sering lupa. Apa yang bapak ceritakan tadi pun aku sudah sedikit lupa. Bahkan aku sering lupa kalau aku miskin”
“Tapi, kau tak pernah lupa makan, bukan?”, sindir pak Ridik lalu tersenyum, “Dul, semua yang aku katakan, tolong jangan kau ceritakan pada siapapun sebelum kau terapkan sendiri. Percayalah, bahwa Tuhan akan berpihak pada kebaikan. Kebaikan orang-orang yang sedang asyik memperbaiki diri, ingat itu!”
“Kenapa tak boleh cerita pada orang lain? Bagaimana dengan anak-isteriku”
“itu kecuali, kau boleh ceritakan perjumpaan kita ini setelah kau tidak miskin lagi. Tapi, sudahlah jangan banyak tanya. Lakukan saja, apa yang kau bisa. Jangan ditunda-tunda. Menunda kebaikan sama dengan menunda pertolongan Tuhan. Ingat, orang miskin macam kau ini adalah orang istmewa. Kalau tidak, mana mungkin kata “miskin” diulang-ulang sebanyak 59 kali dalam Al-Qur’an. Nanti di akhirat pun hanya orang miskin yang bisa menolong kita semua, Nabi Muhammad.”
***
Sepuluh tahun berlalu, setelah usaha Kolam Pancingku besar, lengkap dengan rumah makan, SPBU dan bengkel, bahkan menjadi satu wisata Kolam Pancing terbesar di Kabupaten Malang dengan omset puluhan juta perhari: setelah Kacung anakku sukses menjadi dokter, aku menceritakan kejadian sepuluh tahun silam itu pada beberapa tetangga di kanan-kiri rumah, termasuk pada kiai Khori, guru spiritualku. Betapa kagetnya aku ketika sang kiai mengatakan, “jangan-jangan, pak Ridik itu Nabi Khidir”
“Nabi Khidir? Siapa itu kiai? Sepertinya aku pernah mendengar”, tanyaku
“Nabi Khidir adalah gurunya para Nabi, khususnya Nabi Musa as, ia juga pembimbing spiritual para Wali, penganjur kebaikan dan kesalehan pada orang-orang yang hatinya bersih. Beruntung kau bertemu dia, Dul. Sekalipun Cuma perjumpaan rohani.”*(lihat QS.Al-kahfi 65, kenapa perjumpaan rohani(metafisik) karena khidir As sudah meninggal. Lihat QS Al-Anbiya’ :34)
“Bersyukurlah!”
“Alhamdulillah”, gumamku. Seketika itu aku merasa ditampar dan di siram air, aku benar-benar kaget. Jadi, orang tua yang dulu sering mancing bersamaku, yang kerap aku panggil petinju adalah Nabi Khidir. Aku pun tiba-tiba mengingat jelas kata terakhir pak Ridik di tepi sungai, bahkan kali ini seakan-akan ia hadir di hadapanku, “Jangan seperti Musa, lakukan apa yang aku katakan! Sekalipun aku bukan Khidir dan kau bukan Musa.”
Tak lama kemudian aku merasa ruangan di sekelilingku gelap, aku tak ingat apa-apa lagi. Setelah terbangun dan sadar, kulihat orang-orang berkerumun mengelilingiku di kamar.
***
 
*Tulisan ini diambil dari sebuah buku "PARA NABI DALAM BOTOL ANGGUR", Penulis bernama Ach Dhofir Zuhry, Ketua Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Al-Farabi Kepanjen Malang.

0 komentar:

Posting Komentar