Ketika
pendidikan ujung-ujungnya dikebiri hanya untuk mencapai IPK, GRE, GMAT, atau
TOEFL tinggi untuk tujuan menembus universitas-universitas terbaik di dunia.
Selain itu, pendidikan yang ujung-ujungnya hanya bermuara pada tujuan mengisi
lowongan kerja.
Dalam pragmatisme ini, pendidikan sekedar memproduksi “robot-robot” dan “zombie-zombie” yang beku akal, kreasi, serta nurani. Tak mengherankan jika dalam banyak kasus pendidikan jenis ini menghasilakan “produk” yang memprihatinkan. Nanti bisa jadi hal semacam itu akan menghasilkan sosok karyawan pembebek dan ABS (Asal Bapak Senang). Dokter yang distributor obat, pengusaha penyuap, politisi kotor, pejabat koruptif, dan lain sebagainya.
Menilik
pengalaman pribadi, terus terang saya adalah “korban” dari pendekatan
pendidikan kerdil ini, selama 25 tahun menjalani pendidikan dari TK samapai di
bangku kuliah. Selama kurun waktu yang panjang itu, saya menjadi anak manis-penurut (mendengarkan guru, menulis, menghafal,
dites multiple choice dan kemudian
“lulus”) yang terbonsai potensi dan
daya kreasinya. Karena itu, saya punya istilah favorit untuk pendidikan semacam
ini “pendidikan bonsai”. Sesuai namanya, sistem pendidikan ini membonsai
imajinasi, kekritisan, dan keliaran daya
cipta anak didik. Sistem ini membonsai olah rasa menuju kedewasaan dan
kearifan, dikutip saat perjalanan masa pendidikan (Ken Robinson) selama masa
sekolah hingga di bangku kuliahnya.
Celakanya, saya
baru sadar akan kederdilan sistem ini di akhir-akhir masa kuliah. Karena tak
tahan, saya kemudian memberontak, menjadi alien, lonely, dan kahirnya
tersingkir dari sistem itu. Sejak itu, saya tak percaya lagi pendidikan bonsai
dan memutuskan menjadi self lifetime learner merdeka yang begitu passionate
mengembara mengeksplorasi indahnya pengetahuan, daya imajinasi, dan daya
kreasi.
“Back
to basic”
Di
balik sistem yang telah cukup menjamur tersebut di dunia pendidikan, tidak
perlu kita khawatir akan lemahnya pendidikan yang seperti itu. Ada dua buku
yang telah mencoba mencerahkan, Creative
Schools (Allen Lane, 2015) dan Creating
Innovators (Scribner, 2015), dua buku ini menggugat model pendidikan bonsai
yang sudah terlanjur menjadi mainstream di
seluruh dunia. Keduanya sepakat bahwa pendidikan haruslah membebaskan, persis
seperti divisikan Paulo Freira setengah abab yang lalu. Keduanya mengedepankan
pendidikan yang memanusiakan seperti digagas Prof Driyarkarya. Keduanya menolak
kapitalisasi pendidikan, politisasi pendidikan, dan pendidika ala restoran fast
food yang anak didikannya dipersiapkan secara potong kompas dan instan.
Tak
sekedar mengkritik, kedua buku ini mengajukan model pendidikan alternatif yang
lebih holistis, humanis, dan kreatif.
Dalam Creative School, misalnya, Ken
Robinson (si penulis buku), menyarankan kita semua untuk back to basic dengan membawa pendidikan pada tujuan hakikinya. Hakikat
pendidikan mengandung empat dimensi: ekonomis, sosial, kultural, dan personal
yang mampu mentransformasi anak didik menjadi manusia dewasa yang berpengetahuan, berkepribadian, dan sarat
kearifan.
Pertama,
pendidikan harus membentuk anak didik menjadi manusia yang bertanggung jawab
dan independen secara ekonomi melalui pengembangan bakat, penguasaan
kompetensi, dan pegasahan keterampilan. Kedua, pendidikan haruslah membentuk
anak didik menjadi manusia yang memahami nilai-nilai dan budayanya, serta
menghargai nilai-nilai dan budaya orang
atau bangsa lain. Intinya, pendidikan harus menghasilkan sosok yang toleran
terhadap keberagaman dan perbedaan. (seperti apa yang ada di kampus kita, “Tribhuwana
Tunggadewi”) tercinta. Ketiga, pendidikan harus membentuk anak didik menjadi
warga Negara yang aktif dan peduli pada nasib masyarakat dan negaranya. Terakhir,
pendidikan harus membawa anak didik semakin mumpuni dalam berolah pikir,
berolah rasa, dan berolah spiritual sebagai bekal untuk berefleksi dengan
dirinya dan berinteraksi dengan dunia di sekitarnya.
Sementara
itu, secara lebih praktis, Creating
Innovators menekankan pentingnya rasa ingin tahu (curiousity), daya khayal (imagination),
dan daya kreasi (creativity) sebagai
elemen substansial pendidikan dalam membebaskan (unleash) potensi anak didik. Menurut Tony wagner, si penulis,
proses belajar haruslah mengedepankan eksplorasi bakat anak, kolaborasi
antardisiplin ilmu, eksperimentasi, dan pencarian solusi atas
persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat lingkungannya. Berbeda 180 derajat
dengan pendidikan bonsai yang menempatkan anak didik sebagai obyek pasif,
pendekatan ini menempatkannya sebagai aktor sentral dari proses belajar.
“Metafora”
Logika
kapitalisme dan industrialisasi membonsai pendidikan kita melalui tiga
mekanisme: standardisasi, kompetisi, dan korporatisasi. Pertama, sekolah
disamakan (kurikulum, pengajaran, dan evaluasinya) agar bias diperbandingkan
dan diukur kinerjanya secara standar. Kedua, setelah bisa diperbandingkan lalu
dikompetisikan layaknya kontes kecantikan. Oleh karena itu, kemudian muncul istilah
SMA favorit, Universitas terbaik, Ive
League, dan semacamnya. Ketiga, pemodal masuk ke jantung industri
pendidikan yang fokus utama mereka adalah profit bukanlah pembelajaran. Inilah biang
dari instanisasi, dehumanisasi, dan dekadensi pendidikan kita.
Robinson
yang ceramahnya “How School Kill
Creativity” ditonton jutaan pemirsa dan merupakan yang tertinggal dalam
sejarah TED, mengambil metafor pertanian industrial (industrial farming) untuk menggambarkan logika pendidikan bonsai. Tujuan
utama pertanian industri adalah memproduksi sebanyak mungkin panen, at all cost. Caranya, menanam bibit
monokultur (kalau perlu bibit transgenik), menggunakan pupuk kimia tak peduli
tanahnya terdegradasi, menggunakan pestisida untuk memberangus hama tak peduli
kerusakan lingkungan. Buah dari pendekatan industrial adalah hasil panen yang
maksimal, tetapi dengan ongkos yang sangat mahal berupa bencana kesehatan
(seperti meluasnya penyakit kanker) dan kerusakan lingkungan.
Lawannya
adalah pertanian organik yang menempatkan bertanam sebagai bagian dari jejaring
kehidupan (web of life) yang lebih
luas. Berbeda dengan pertanian industrial, pertanian organik melihat vitalitas
kesuburan tanah dan kelestarian lingkuan sebagai bagian penting dari proses
produksi tanaman. Nah, beginilah seharusnya pendidikan kita di kelola dan di
kembangkan. Alih-alih melulu mengejar target menghasilkan lulusan terbanyak dan
terbaik (melalui test multiple choice),
sekolah seharusnya mampu membentuk pribadi-pribadi dewasa yang mumpuni dan
bernurani melalui inuvasi dan kreativitas metode pembelajaran.
Seperti
halnya pertanian organik, pendidikan organik mensyaratkan empat hal. Pertama,
harus mengembangkan dan mendewasakan anak didik secara multidimensi dan
holistis (fisikal, intelektual, sosial, dan spritual). Kedua, harus terkait erat
dengan lingkungan komunitas dan masyarakatnya, tak boleh tercerabut dan ada di
menara gading. Ketiga, harus mengembangkan potensi anak didik melalui sinergi
antara si anak, pengajar, orang tua, dan masyarakat lingkungannya. Terakhir, harus
dilakukan secara personal atau customized untuk tiap individu karna
masing-masing mereka memiliki bakat, minat, dan keunikan sendiri-sendiri.
Celakanya,
pendekatan baru ini tidak bisa dilakukan secara instan dan semudah
menyelenggarakan ujian multiple choice. Karena
itu, hal yang di butuhkan dalam dunia pendidikan bukanlah program percepatan, crash program, atau semacamnya,
melainkan ”slow movement” dan “slow edication”. Yang dibutuhkan adalah creative
destruction, alias memusnahkan system pendidikan bonsai untuk menggantinya
dengan system yang sama sekali baru. Dua buku tersebut mengusulkan sebuah
revolusi dan pendekatan out of the box dalam
pengelolaan pendidikan kita.
Mudah-mudahan
suatu saat system yang di tawarkan oleh pembahasan di atas dapat di terapkan dengan baik oleh berbagai
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di negri ini, agar sesuai dengan manusia
yang berpendidikan sebagai mana mestinya khususnya bagi Mahasiswa Universitas
Tribhuwana Tunggadewi dan kader-kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia di
manapun berada.
*tulisan
ini di ambil dari harian KOMPAS, Senin, 11 Januari 2016 dan di kelola oleh
salah satu kader PMII Country/(sam).
0 komentar:
Posting Komentar